Dari
jauh terlihat sebuah rumah dengan sentuhan gaya Belanda yang cantik. Bunga
warna-warni menambah suasana rumah terlihat menawan dan asri. Rumah yang
tertata dan terawat dengan baik oleh sang pemilik rumah. kupu-kupu Cantik pun
ikut menyemarakan halaman dengan tarian indah mereka. Rumah yang ditinggali
oleh keluarga kecil yang bahagia.
Secangkir
teh hangat tersaji di meja teras lengkap dengan camilan menemani Fania di sore
yang cukup dingin. Fania asyik membolak balik majalah fashion khusus muslimah.
Ia tertegun melihat model-model hijab dan baju. Ia memang senang melihat
perkembangan hijab dan baju-baju muslimah, tetapi ia juga tidak menyukai model
hijab dan baju yang aneh-aneh. Ia suka yang simple, elegan, dan tidak
menonjolkan bentuk tubuhya.
Fania
Alenta Wiliam, seorang gadis blesteran Jawa-Belanda tinggal di kota Kembang nan
mempesona. Memiliki wajah cantik, kulitnya putih, dan tubuh yang proposional
sebagai anugerah Tuhan. Senyum manis selalu tersunggih dibibir mungilnya. Ia
terkenal ramah di kampus maupun lingkungan tempat tinggalnya.
Fania
masih tinggal bersama orang tua. Ia memiliki dua kakak laki-laki yang sudah
menikah. Kakak pertama satu kota sedangkan kakak kedua berada di luar negeri.
Orang tua dan kedua kakaknya menyayangi Fania. Mereka selalu berkumpul ketika
hari raya atau pas liburan. Sebagai anak bungsu tidak membuat Fania manja.
Perkenalanku
dengan Fania sebagai surat cinta yang dikirim Tuhan. Waktu itu aku bersama tim
mendapatkan tugas untuk menghadiri acara seminar di kampusnya. Ada desiran aneh
di hati yang belum pernah aku rasakan. Senyum Fania membuat aku seperti mimpi
bertemu bidadari surga. Namun, aku tak serta-merta mampu menaklukkan hatinya.
Aku menyadari, siapa diri ini? diri ini yang suka kongkow dengan teman band dan
belum merasa cukup dengan ilmu agama. Tapi aku tidak menyerah. Setelah aku
mendapatkan nomor ponselnya dan berusaha untuk menyakinkan kalau aku
benar-benar ingin bersamanya.
“Assalamualaikum,
Fania. Maaf, mengganggu waktumu sebentar. Aku Alzio Permana. Keemarin kita
berjumpa di acara seminar. Aku ingin lebih mengenalmu. Bolehkah?”
“Oo...
iya yang kemarin.”
Betapa
susahnya dan deg-degan ketika mencoba menelfon lalu berbincang sebentar. Ternyata
Fania anak yang supel. Berbincang dengannya cukup menyenangkan. Beberapa bulan
mengenalnya seakan ada kecocokan yang aku rasa.
Sejak
mengenal Fania ada banyak hal yang membuat aku berubah dan mengetahui banyak hal.
Aku malu pada diriku sendiri. Selama ini apa yang sudah aku lakukan? Apa yang
aku perbuat? Apa yang akan menjadi tuntunan dan panutanku dalam hidup ini? ah,
betapa aku malu pada Tuhan. Aku juga berterima kasih pada Tuhan karena telah
mempertemukanku dengan Fania. Aku sangat bahagia ketika akan meminangnya.
Fania, perempuan yang telah menyadarkanku, membuat hidup ini bermakna dan
menjadikan aku seorang laki-laki beruntung.
“Fania,
untuk acara pernikahan sudah fix semua ya?” tanyaku melalui telepon.
“Iya,
sudah. Tidak lupa bunga mawarnya ya?” ucap Fania sumringah.
“Bunga
mawar sudah aku pesankan. Oke, selamat istirahat. Mimpiin aku ya heheee...”
“Oke.
Selamat istirahat juga”
Pernikahan
sudah di depan mata tetapi apalah daya Tuhan berkehendak lain. Tuhan lebih
menyayanginya. Sebuah peristiwa membunuh semua mimpi dan harapanku. Fania pergi
untuk selamanya dalam kecelakan. Hatiku hancur. Perempuan yang aku cintai dan
masa depanku ternyata bukan jodohku di dunia. Keputusanku untuk sendiri di
dunia dengan harapan dipertemukan kembali dengan Fania di Surga. Bayangan Fania
tak lekang dari ingatanku. Aku sering merasa tak sanggup hidup tanpa Fania. Setiap
hari aku kunjungi pusarannya. Bunga mawar kesukaannya selalu aku bawa.
“Fania,
aku akan tetap bersamamu, mengunjungimu karena aku selalu merindukanmu.” gumamku
lirih seiring dengan lantunan doa untuknya,
Be First to Post Comment !
Posting Komentar