Langit pagi masih menyisakan kabut hitam tipis. Sisa
air hujan pun terlihat di tanah, jadi becek. Pagi yang dingin membuat Arnez
betah terlelap tidur berselimut tebal. Ini memang hari Minggu, biasanya kalau
hari Minggu, Arnez bangun agak siang.
Ibu sudah membangunkannya sewaktu adzan subuh
berkumandang. Ia pun bangun untuk sholat subuh lalu kembali tidur.
Kebiasannya itu dimaklumi oleh ibu. Ibu tahu dan
paham kalau putrinya lelah karena aktifitasnya. Ibu membiarkan Arnez tiap hari Minggu
bangun agak siang yang penting salatnya tidak pernah tertinggal.
Berbeda kalau Ayahnya ada di rumah, ia pasti bangun
pagi entah hari Minggu atau bukan. Ayahnya memang jarang pulang karena bekerja
di luar kota. Ayah pulang sebulan sekali. Ibu sedang memasak di dapur ketika
Arnez bangun.
“Ibu! Selamat pagi. Wah bau masakan ibu sedap nih.
Jadi lapar.” sapaan ceria Arnez. Ia duduk menungu ibu selesai masak.
“Iya dong. Ini nasi goreng kesukaanmu sayang. Tumben
sudah bangun, biasanya setengah jam lagi. Apakah ada rencana pergi?” tanya Ibu
sambil menaruh nasi goreng ke piring.
“Hemm... Itu Bu. Titi, Zola, dan Diar ngajak
bersepeda. Kita janjian bertemu di rumah Zola pukul 08.00. Sekarang masih ada
waktu untuk siap-siap supaya mereka tidak lama menunggu.” Arnez menjelaskan.
“O... Begitu ya. Berarti ibu sendirian nih di
rumah.” Arnez hanya tersenyum mendengar perkataan ibu. Selesai makan, Ia
bergegas ke garasi mengambil sepeda.
“Assalamu’alaikum
Bu...! Arnez pergi dulu ya.” pamit Arnez
“Wa’alaikumsalam.
Ati-ati sayang.” jawab ibu
Arnez mengayuh sepedanya sambil bernyanyi lirih.
Sampai di depan rumah Zola, Arnez mendapati Bi Yuni.
“Pagi Bi Yuni. Zola Ada?” sapa Arnez. Bi Yuni
menoleh seraya tersenyum.
“Eh... Non Arnez. Pagi juga Non. Oh iya tadi pagi
Non Zola pesen kalau hari ini tidak jadi bersepeda bersama karena Non Zola
diajak papa dan mama rekreasi. Terus Non Titi dan Non Diar juga katanya ikut
keluarga ke Water Boom.” Bik Yuni memberitahu.
“O ... Ya sudah,
Bi! Terima kasih. Aku pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.
Sama-sama Non. Ati-ati.”
Arnez mengayuh sepedanya gontai. Ia mau bermain
dengan siapa hari Minggu ini. Coba ayah ada di sini, pasti sekarang diajak
jalan-jalan atau bersepeda bersama melihat pemandangan sawah atau keliling
kampung.
“Uh... Sebel. Kapan aku bisa bareng Ayah? Kenapa
mesti kerja jauh sih? Aku jadi jarang pergi bareng ayah” gerutu Arnez kesal.
Terik matahari mulai terasa. Arnez mempercepat laju
sepedanya. Sampai di lapangan, ia berhenti, ia memandang lapangan yang sepi. Ia
teringat saat berlatih sepeda. Ia sering jatuh, ayah membantunya berdiri dan belajar
lagi. Ia jadi kangen dengan ayah. Arnez beranjak pulang. Hatinya sedih ingin
bertemu dengan ayah. Harusnya di hari Minggu seperti ini bisa bersama ayah, ibu
jadi lengkap sebagai keluarga bahagia.
“Braakk...!”
Arnez menaruh sepedanya dengan kasar. Ibu yang
mendengarnya kaget.
“Arnez ... kok menaruh sepedanya begitu? Tidak
mengucap salam juga. Kok cemberut juga. Bersepedanya jadi kan?” pertanyaan ibu
memberondongnya.
Arnez duduk disebelah ibu. Wajahnya masih cemberut.
“Sayang, cerita sama ibu. Zola, Titi, dan Diar ada
kan?” ucap ibu lembut seraya memberikan air minum.
“Tidak jadi bersepeda bersama!. Zola pergi rekreasi.
Titi dan Diar ikut keluarga ke Water Boom.”
sungut Arnez.
“O ... Begitu. Sayang, cemberutnya udah dong. Besok
lagi kan bisa main sepeda. Hari ini Arnez bersama ibu. Kita bisa main congkak,
baca buku, atau nonton film kartun bareng.” bujuk Ibu. Arnez hanya diam tidak
memedulikan tawaran ibu. “Arnez, masa gara-gara tidak jadi bersepeda, ibu dicuekin.
Ayolah sayang, tolong cemberutnya sudah ya.”
“Uhhhggg....”Arnez menghela nafas. Bersandar di
sofa. “Ibu! Kapan Ayah pulang? Kok lama tidak pulang-pulang?“ tanya Arnez.
Ibu tatap lekat-lekat wajah Arnez. “Arnez kangen Ayah?
Cemberutnya juga berhubungan dengan Ayah?”
Arnez mengangguk pelan. “Ibu! Arnez ingin seperti
teman-teman yang lain bisa bersama-sama ayah. Bisa weekend lengkap dengan keluarga. Kapan Arnez rasakan itu semua?
Arnez sedih jauhan dengan ayah. Arnez juga iri dengan teman-teman yang punya
kesempatan bersama. Ada waktu banyak untuk berkumpul. Kenapa kita tidak ikut
ayah saja, Bu?” gerutu Arnez.
“Sayang ... Ibu mengerti apa yang kamu rasakan. Ibu
sebenarnya juga ingin kita bersama-sama Ayah di sana tapi untuk saat ini Ayah
dan Ibu belum bisa mewujudkan keinginanmu. Di sana ayah sedang berusaha untuk
mendapatkan tempat tinggal yang baik supaya kamu nyaman. Ayah juga ingin kamu
bahagia di sana. Arnez, ayah dan ibu menginginkan yang terbaik untuk masa depan
kita. Percayalah, Allah pasti mendengar doamu, doa kita. Sekarang perbanyaklah
berdoa agar Allah cepat mengabulkan, mempermudah jalan kita untuk bersama.”
kata ibu lembut. Arnez mencermati dan pahami kata-kata ibu.
“Iya! Tapi sampai kapan harus menunggu?” protes
Arnez.
“Sayang ..., ayah dan ibu ingin secepatnya bersama.
Kita juga lelah berjauhan tapi segala sesuatunya harus dipersiapkan matang.
Arnez ingat selalu, meski ayah jauh tapi ayah tidak pernah lupa untuk menelpon
dan ayah juga sering menyempatkan untuk pulang. Ayah juga tidak pernah
melewatkan ulang tahunmu atau moment penting kamu. Kamu lihat di luar sana
masih banyak anak-anak yang menderita karena di tinggal oleh orang tuanya.
Arnez ingat kunjungan kita ke Panti Asuhan, di sana Arnez bertemu dengan Lila,
anak seusia Arnez yang sejak bayi tinggal di Panti Asuhan karena dibuang oleh
orang tuanya. Arnez harus belajar lebih sabar lagi ya.” Ibu menasihati.
Arnez tertegun mendengar perkataan Ibu. Ia menyesal
telah bersikap kurang baik.
“Maafkan Arnez, Bu. Arnez janji tidak akan cemberut
lagi atau iri melihat teman-teman bersama Ayah. Arnez juga akan mendoakan ayah
dan ibu.” ucap Arnez seraya memeluk ibu. Air matanya menetes. Ia seharusnya
lebih sabar lagi.
“Iya ... sayang. Sekarang kita salat dhuhur, lalu
makan siang. Oh iya ... Tadi Ayah telepon, katanya nanti malam sudah sampai di
rumah. Terus besok pagi mau ajak Arnez, Ibu ke Kebun Raya. Besok kan tanggal
merah, ayah libur jadi disempatkan pulang. Ayah juga berpesan supaya Arnez
tidur lebih awal agar bisa berangkat pagi-pagi” kata Ibu.
“Beneran Bu? Yeah ... Asyiiikkk! liburan bersama
ayah dan ibu. Terima kasih ya Allah.” Arnez girang.
Ibu tersenyum melihat tingkah Arnez.
“Ayuk ... Kita salat dulu” ajak Ibu.
Arnez mengangguk. Ia gembira karena besok bisa
bertemu Ayah dan diajak jalan-jalan. Dalam hatinya, ia bersyukur ibu begitu
sayang. Ayah juga sayang meski jauh. Nasibnya masih baik jika dibandingkan
dengan Lila yang ditinggal ayah dan ibunya di Panti Asuhan dan belum pernah
bertemu.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar